Asal Usul Desa Kuanyar
Hubungan peristiwa ini dengan
asal muasal Desa Kuanyar adalah, bahwa pada saat itu Ratu Kalinyamat mempunyai
pengikut setia yang selalu mendampingi Sang Ratu. Beliau adalah seorang dayang
yang merawat dan mengasuh Sang Ratu sejak kecil. Karena pekerjaannya mengasuh
itulah maka dayang tersebut biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Emban (artinya
ibu asuh). Nama asli mbok emban adalah Nyai Safah. Hal ini berdasarkan cerita
tutur dan tulisan yang terukir di pintu makam beliau. Sepeninggal Sultan Hadirin
Ratu Kalinyamat memberikan penghargaan kepada Mbok Emban berupa sebuah wilayah
berjarak 6 kilometer di sebelah tenggara Keraton Kalinyamat untuk ditempati.
Dengan penuh ketekunan Mbok Emban bersama suaminya yang bernama Mbah Wali
(tidak diketahui nama asli beliau) pindah dan membabat hutan di wilayah yang
dimaksud menjadi sebuah tempat tinggal. Oleh Mbok Emban daerah tersebut
kemudian dinamakan sentono/ astana raja. Dinamakan demikian karena untuk
mengingat jasa Kanjeng Ratu Kalinyamat. Didaerah tersebut kemudian dibangun
tempat tinggal dan pesanggrahan. Hingga akhirnya tempat tersebut dikenal
sebagai pesanggrahan mbok nyai emban pada masanya. Lambat laun disekitar daerah
tersebut mulai ramai didatangi oleh para pendatang yang kemudian menetap dan tinggal
disekitar daerah tersebut. Kalau melihat kondisi gegrafis daerah sentono
penulis berkeyakinan bahwa pesanggrahan dan tempat tinggal Mbok Emban dulunya
terletak ditepi sebuah sungai dengan dikelilingi pohon pohon besar. Namun
sungai tersebut kini sudah tidak terlihat jelas karena proses alam yaitu proses
sendimentasi/ pendangkalan. Hal ini bisa terlihat dari topografi daerah
tersebut yang posisinya lebih tinggi dibanding dengan posisi tanah di sekitar.
Sampai sekitar tahun 1996 sekitar 50
meter disebelah barat makam beliau masih terlihat sebuah cekungan panjang
menyerupai sebuah sungai meskipun tidak dalam dengan dikelilingi dua buah pohon
besar yang berusia ratusan tahun. Sayang dua buah pohon besar yang menjadi
peneduh di area makam beliau kini sudah tidak ada lagi karena tumbang dimakan
usia. Hal lain yang lebih meyakinkan penulis adalah pernah ditemukannya sumber
pasir di persawahan disebelah utara makam beliau. Waktu itu ayah penulis sedang
menggali sumur untuk pengairan tanaman jagung di sawah tersebut, namun setelah
kedalaman sekitar dua meter galian yang semula berupa tanah berubah menjadi
pasir. Pasirnya berwarna coklat sebagaimana umumnya pasir sungai. Tidak hanya
satu sumur yang dibuat namun ada empat sumur dan semuanya mengandung pasir. Sumur-sumur
itu dibuat empat titik yang masing-masing berjarak empat meter dengan bentuk
segi empat. Pasir-pasir tersebut kemudian diambil oleh ayah penulis, bahkan
cukup untuk dipakai sebagai bahan bangunan. Bahkan saat itu penulispun ikut
membantu ayah mengambil pasir. Dari kejadian inilah penulis yakin bahwa
pesanggrahan Mbok Emban terletak ditepi sebuah sungai yang asri dan sejuk. Hal
ini juga dikuatkan dengan fakta adanya kubangan air yang membentuk pola
memanjang seperti aliran sungai apabila hujan deras, sewaktu ayah penulis masih
kecil kubangan air bahkan terlihat lebih jelas.
Pada perkembangannya
Pesanggrahan mbok nyai emban sering dikunjungi dan oleh para musafir yang
kebetulan melewati daerah tersebut sebagai tempat persingahan ataupun juga
diskusi. Salah seorang yang sering singgah ke pesanggrahan beliau adalah
seorang ulama yang berasal dari Singaraja Bali bernama Datuk Ida Gurnandi. Mbah
Datuk Singorojo begitu sekarang masyarakat meyebut, adalah seorang dai
keliling. Beliau menetap disebuah desa berjarak kurang lebih 8 kilometer atau
empat kilometer kearah timur laut Pasar Mayong yang diberi nama seperti daerah
asalanya yaitu Singorojo. Mbah Datuk sering singgah ke pesanggrahan Mbok Emban
apabila sedang melakukan dakwah keliling ke wilayah-wilayah di jepara. Menurut
cerita, kebiasaan Mbah Datuk saat singgah disuatu tempat adalah ditanamnya
pohon aren didaerah tersebut. Dengan demikian setiap melakukan perjalanan Mbah
Datuk selalu membawa buah aren (kolang-kaling). Cerita ini memang ada benarnya
karena sampai akhir tahun 1980-an di sekitar makam mbok emban masih ditemui
banyak pohon aren meskipun sekarang sudah tidak ada satupun yang tinggal.
Ditempat tersebut konon juga didirikan sebuah Masjid. Namun sayang Masjid
tersebut ternyata tidak pernah digunakan sembahyang secara berjamah oleh
masyarakat sekitar setono. Hingga akhirnya mbah wali (suami mbok emban)
menendang bedug masjid (alat untuk memanggil orang untuk pergi ke masjid)
sehingga terlempar sejauh tiga ratus meter kearah tenggara masjid dan entah
kenapa kemudian masjid itu kemudian terbakar. Bekas reruntuhan batu bata masjid
tersebut saat ini masih bisa disaksikan meskipun kondisi batu batanya sudah
tidak utuh lagi. Ditendangnya bedug masjid tersebut mengandung maksud sebagai
symbol bahwa untuk apa ada bedug kalau masyarakat tidak pernah mau
mendengarkan/ datang ke masjid untuk sembahyang (tempat berhentinya bedug
tersebut dua ratus delapan puluh tahun
kemudian, yaitu sekitar tahun 1880-an dibangunlah masjid baru berdasarkan
penafsiran KH Hasan Janamin seorang ulama dan guru sufi yang bermukim didekat
tempat tersebut. Masjid tersebut kemudian dikenal sebagai Masjid Kauman atau
Masjid Baitul Mujtahidin Kuanyar). Pada tahun 1600-an Mbok Emban dan Mbah Wali
meninggal dan beliau berdua dimakamkan didekat pesanggrahan milik mereka
berdua.
Setelah era mbok emban kemudian
muncul tokoh-tokoh lain yang mendiami tempat-tempat di sekitar setono.
Tokoh-tokoh tersebut adalah Mbah Kresek, Mbah Sastro Mulyono, Mbah Sugeng,
Raden Suryo, Mbah Cokroamijoyo, Mbah Suradi dan Mbok Dodol. Daerah mereka
tinggal kemudian menjadi pedukuhan. Dukuh-dukuh tersebut adalah Sebatang (Mbah
Kresek), Gedang Gepeng (Mbah Sastro Mulyono), Mbondoyo (Mbah Sugeng), Ngalasan
Timur (Raden Suryo), Ngalasan Barat (Mbah Sastroamijoyo), Kranggan (Mbah
Suradi), dan Babadan (Mbok Dodol). Mbah Kresek adalah yang mula-mula memberikan
nama Kuanyar dari ungkapan Bumiku Anyar yang kemudian berubah menjadi Kuanyar.
Karena beliau yang memberi nama desa kemudian beliau disebut sebagai Mbah
Lurah. Untuk Setono sendiri kemudian menjadi bagian dari pedukuhan Kauman
dikarenakan kemudian didaerah ini sebagai pusat penyiaran Agama Islam di Desa
Kuanyar. Adapun pmerintahan Desa Kuanyar secara administrative setelah era Mbah
Lurah (Mbah Kresek) adalah; Banis (1837-1840), Yahya (1840-1865), Ropingi
(1880-1905), Wirongangsi (1905-1922), H. Glempo (1922), H. Sulaiman
(1922-1945), Maskat (1945-1975), Abu Kholil (1975-1986), Ubeid Zubaidi
(1986-1996), Abdul Qodir (1996-2003), Ubeid Zubaidi (2003-2013), dan Abdu
Harisman (2013-2019).
Sebagai seorang tokoh yang
telah berjasa dalam membuka Desa Kuanyar dan mensiarkan Agama Islam untuk yang kali pertama tentu sangatlah wajar
apabila generasi sekarang menghargai dan menghormati jasa beliau, karena
bagaimanapun juga Mbok Nyai Emban dan keluarganya adalah pelopor atau lazim
disebut Danyang. Namun kenyataannya sekarang sangat memprihatinkan. Satu
satunya peninggalan beliau yang tak lain adalah makam beliau sendiri terkesan
tak terawat. Bangunan yang menaungi makam beliau dan keluarga serta
pengikutnyapun tak ubahnya seperti bangunan reot yang mau roboh. Kumuh, kotor
dan berantakan. Begitu juga pemakaman disekitar makam beliau juga terkesan tak
terawat tidak ada pagar keliling dan banyak makam yang sudah rusak. Batu nisan
juga sudah banyak yang hilang. Terkesan kering dan gersang. Hal ini tentu
membutuhkan perhatian khusus dari warga desa khususnya Pemerintah Desa Kuanyar.
Pembangunan dan pemugaran yang memadai serta pengelolaan yang baik tentu harus
menjadi program yang diprioritaskan.Selain itu juga perlu disusun sebuah buku
tentang riwayat beliau oleh pemerintah esa dan tokoh tokoh agama dengan mencari
berbagai sumber agar setiap generasi dapat mengetahuinya Pembangunan makam ini tentunya bukan
bermaksud untuk mengkultuskan beliau, namun lebih pada perawatan dan
pemeliharaan sebuah situs sejarah dari proses panjang lahirnya sebuah desa.
Dengan demikian makam tersebut bisa menjadi wisata sejarah bagi masyarakat desa
terlebih generasi muda dan generasi yang akan datang agar mengetahui bagaimana
desa mereka didirikan. . Tentu hal itu bukanlah hal buruk. Adapaun adanya
kekhawatiran akan adanya praktek yang tidak baik itu kembali kepada keimanan
masing masing. Selama pengelola bisa menjaga hal hal yang tidak baik serta
praktek praktek yang menyimpang tentu hal semacam itu tak perlu dikhawatirkan.
Negara yang besar adalah Negara yang warga negaranya menghargai para founding
father dan pahlawannya dan desa yang besar adalah desa yang mau menghargai
pendiri desanya. Karena bagaimanapun juga adanya kita dan eksistensi kita saat
ini adalah hasil dari sebuah proses sejarah yang panjang maka tidak sepatutnya
kita memutus rantai sejarah dengan tidak melestarikan peninggalan sejarah yang
ada. Semoga Desa Kuanyar menjadi desa yang damai, ramah, mau menghormati dang
menghargai leluhur dan yang terpenting tidak kehilangan jati dirinya dan jangan
sampai termasuk dalam dalam peribahasa kacang lupa pada kulitnya.
Sejarah Desa Tigajuru
Tigajuru merupakan salah satu diwilayah Kerajaan
Kalinyamat pada waktu itu. Dipimpin oleh seorang ratu bernama Ratu Kalinyamat
yang mempunyai suami bernama Sultan Hadirin. Pada suatu ketika diwilayah lereng
Gunung Muria khususnya yang terjadi di wilayah Mayong terjadi “pagebluk” yang diakibatkan
oleh kerusuhan dan banyaknya perompakan serta perampokan maka beliau mengutus
Roro Ayu Mas Semangkin (Ibu Mas Semangkin) untuk menyelesaikan masalah
tersebut.
Roro Ayu Mas Semangkin (Ibu Mas Semangkin) adalah anak
ke 4 Sunan Prawoto Demak, semasa kecil hingga tumbuh menjadi remaja putri
beliau diasuh oleh bibinya bernama Ratu Kalinyamat. Setelah menjelang dewasa
kemudian menjadi ”garwo selir” Panembahan Senopati/Sutowijoyo dari Kerajaan
Mataram. Roro Ayu Mas Semangkin kembali ke Jepara untuk menunaikan tugas suci
menumpas ”pagebluk” tersebut. Beliau dinobatkan sebagai panglima perang
didampingi oleh Lurah Tamtomo Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Atas
keahlian, kemahiran dan ketangkasan olah kanuragan dan strategi perang Roro Ayu
Mas Semangkin maka kerusuhan tersebut dapat dengan segera dipadamkan. Setelah
itu Roro Ayu Mas Semangkin tidak berkenan kembali ke Mataram tetapi justru
mendirikan pesanggrahan dan menetap di Desa Mayonglor hingga beliau wafat.
Selain misi tersebut Ratu Kalinyamat juga mengutus Ibu
Mas Semangkin untuk menyiarkan agama Islam keseluruh pelosok kerajaan, untuk
itu Ibu Mas Seangkin membuat pemerintahan atau kraton pada waktu itu di wilayah
Mayong yang notabene mayoritas masyarakat Mayong beragama Hindhu dan Khonghucu.
Dalam melaksanakan tugasnya Ibu Mas Semangkin dibantu oleh juru atau ahli
dibidang-bidang tertentu, antara lain Ki Brojo Penggingtaan, Ki Tanujayan, Mbah
Notokusumo, Mbah Abdullah Mufakatan, dan Mbah Suriyah Tunjungsari. Dari kelima
murid tersebut, Ibu Mas Semangkin menugaskan Mbah Notokusumo, Mbah Abdullah
Mufakatan, serta Ibu Suriyah Tunjung sari untuk mengurus sebuah wilayah yang
bernama Tigajuru.
Tigajuru terdiri dari dua kata yaitu Tiga yang berarti
tiga (three) dan juru yang berarti ahli, karena di Tigajuru ada tiga orang
yaitu Mbah Notokusumo, belaiau adalah berasal dari Keraton Surakarta yang
merupakan juru pemerintahan, Mbah Abdullah Mufakatan, belaiau berasal dari
Demak merupakan juru runding atau musyawarah mufakat, dan Ibu Suriyah Tunjung
Sari merupakan juru masak. Dari ketiga juru itu maka wilayah tersebut dinamai
TIGAJURU.
SEJARAH DESA MAYONG LOR
Sejarah Desa Mayonglor dimulai
dari Roro Ayu Mas Semangkin adalah anak ke 4 Sunan Prawoto Demak dan merupakan
pendiri desa Mayonglor. Semasa kecil hingga tumbuh menjadi remaja putri beliau
diasuh oleh bibinya bernama Ratu Kalinyamat. Setelah menjelang dewasa kemudian
menjadi”garwo selir”Panembahan Senopati / Sutowijoyo dari Kerajaan Mataram.
Roro Ayu Mas Semangkin kembali ke Jepara untuk menunaikan tugas suci
menumpas”pagebluk”oleh sebab dan yang diakibatkan oleh kerusuhan dan banyaknya
perompakan serta perampokan di wilayah lereng Gunung Muria, khususnya yang
terjadi di Wilayah Mayong. Beliau dinobatkan sebagai panglima perang didampingi
oleh Lurah Tamtomo Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Atas keahlian,
kemahiran dan ketangkasan olah kanuragan dan strategi perang Roro Ayu Mas
Semangkin maka kerusuhan tersebut dapat dengan segera dipadamkan. Setelah itu
Roro Ayu Mas Semangkin tidak berkenan kembali ke Mataram tetapi justru
mendirikan pesanggrahan dan menetap di Desa Mayonglor hingga beliau wafat.
Pada waktu itu banyak para murid
dari padepokan Roro Ayu Mas Semangkin, Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan
selain berguru kepadanya juga banyak berguru ke Padepokan Datuk Singorojo yang
kebetulan ahli dalam membuat ukir–ukiran dan keramik. Keahlian Datuk Singorojo
ini kemudian ditularkan kepada murid–murid tetangga padepokan tersebut. Dalam
waktu singkat padepokan tersebut banyak kedatangan murid untuk berguru ilmu
kanuragan, keagamaan dan kerohanian dan yang terpenting adalah belajar membuat
gerabah. Sejalan dengan perjalanan waktu kemudian muncul perkampungan baru
bernama Undagen di desa Mayonglor yang khusus mengembangkan kerajinan gerabah,
genteng, keramik dan seni ukir. Dalam perkembangan jaman maka pada tahun 1937
Belanda mendirikan Pasar Mayong yang ditujukan sebagai tempat berjualan
berbagai macam barang–barang kerajinan gerabah yang digunakan untuk kepentingan
rumah tangga dan berbagai macam mainan seperti manuk–manukan, gajah–gajahan,
sapi–sapian, terbang–terbangan dan sebagainya. Dengan keahlian masyarakat
Mayonglor dalam membuat gerabah dan teknik pembuatan keramik maka di Mayong
didirikan pabrik keramik.
ASAL USUL DESA NGROTO
VERSI I
Ngroto, Bukan sekedar kata yang tanpa makna. Ngroto bisa berarti daerah yang rata,”merata”. Dalam tutur sejarah desa yang diriwayatkan secara turun temurun, dikisahkan Pada saat dulu kala ketika daerah Ngroto dan sekitarnya masih berupa hutan belantara yang belum berpenduduk, datanglah Nyai Ragil ke tempat ini dan kemudian membuka lahan yang ditumbuhi bermacam tumbuhan untuk dijadikan tempat tinggal. Setelah melihat kontur tanah yang sebelumnya penuh pohon dan tumbuhan menjadi daerah yang rata, datar, dan nampak berbeda dengan yang terlihat disebelah selatan daerah ini berupa jajaran gundukan bukit kapur, Nyai Ragil kemudian menamakan daerah ini sebagai Ngroto.
VERSI II
di Persia dulu terdapat keluarga Nyi Syamsiyah yang telah lama ditinggal suaminya pergi ke tanah Jawa. Nyi Syamsiyah mempunyai putra bernama Abdurrahman. Setelah dewasa, Abdurrahman mengajak ibunya mencari ayahnya ke tanah Jawa. Sesampainya di Jawa beliau dan Ibunya berguru pada Kanjeng Sunan Kalijaga. Setelah beberapa tahun nyantri kepada Kanjeng Sunan, beliau ingat tujuan beliau datang ke tanah Jawa yaitu untuk mencari ayahnya. Beliau yakin ayahnya masih berada di tanah Jawa. Maka segeralah berpamitan dengan Ibunya dan mohon restu pada Kanjeng Sunan. Kanjeng Sunan Kalijaga menyarankan agar beliau menyisir kali tuntang karena suatu saat ayahnya pasti lewat kali tersebut. Setelah berpamitan, beliau pun menyisir kali tuntang dengan perahu. Sampailah Abdurrahman pada suatu tempat yang di tunjukkan Kanjeng Sunan. Beliau pun turun dan mendirikan gubugan kecil disana yang tak jauh dari perkampungan.
Setelah beberapa tahun tinggal dan ikut berjuang syiar agama di sana, suatu hari dijumpainya seorang Kyai yang terhenti sampannya ketika melewati kali tuntang tersebut. Abdurrahman pun membantunya dan berkenalan. Tak disangka ternyata Kyi tersebut tidak lain adalah ayahnya yang bertahun-tahun beliau cari. Beliau sangat bersyukur dan meminta ayahnya untuk tinggal. Namun karena masih ada tugas yang harus diselesaikan ayahnya pun melanjutkan perjalanan ke Demak. Abdurrahman tetap tinggal dan melanjukan syiar Islam di daerah tersebut. Nyi Syamsiah akhirnya menyusul putranya ikut tinggal di perkampungan tersebut. Lama-lama daerah itu semakin ramai. Karena daerah itu banyak ditumbuhi tanaman glagah dan merata maka daerah tersebut kemudian diberi nama Roto kemudian menjadi Ngroto.
Kyai Abdurrahman mendapat gelar Ganjur
Para Wali Sembilan yang berhasil mendirikan Kesultanan Demak akhirnya membentuk pasukan yang dipimpin Sayyid Abdurrahman dari Desa Ngroto. Sayyid Abdurrahman dipilih oleh Wali Sembilan karena memiliki keterampilan membuat alat musik pukul, sehingga dia diberi gelar Ki Ageng Ganjur (alat musik pukulan di bawah gong dalam perangkat gamelan wayang). Alat musik Ganjur tersebut dipakai sebagai alat komunikasi dengan pasukan-pasukannya dan sarana dakwah.
Asal - Usul Desa Mayong Kidul
Asal –usul Desa Mayong bermula dari cerita Ratu Kalinyamat dan suaminya yang pergi ke kudus menemui Sunan Kudus untuk meminta penjelasan tentang masalah Arya penangsang dengan Sunan Prawoto yang merupakan kakak dari Ratu kalinyamat. Sunan Kudus menjelaskan bahwa dulu semasa muda, Sunan Prawoto telah membunuh Pangeran Sekar Seda Lepen yang merupakan ayah dari Arya Penangsang, jadi wajar jika Arya Penangsang memiliki rasa dendam kepada Sunan Prawoto dan keluarganya. Setelah mendengar penjelasan dari Sunan Kudus, Ratu Kalinyamat beserta suaminya pulang ke Jepara, tetapi saat di perjalanan pulang mereka dihadang oleh anak buah dari Arya Penangsang dan membuat suami Ratu Kalinyamat tewas. Sebelum Pangeran kalinyamat atau suami dari Ratu Kalinyamat itu meninggal, ia sempat merambat-rambat di tanah dengan sisa tenaganya, hingga daerah tersebut kini dinamai Desa Prambatan. Selanjutnya, Ratu Kalinyamat membawa jenazah suaminya untuk tetap meneruskan perjalanan dan sesampainya di sebuah sungai, darah dari Pangeran Kalinyamat menetes ke sungai dan warna air sungainya berubah menjadi ungu, sehingga daerah tersebut diberi nama Desa Kaliwungu. Rombongan Ratu Kalinyamat melanjutkan perjalanan ke arah Barat dan karena dalam kondisi lelah, ia berjalan sempoyongan (Moyang-moyong), maka daerah tersebut diberi nama Desa Mayong.
Ratu Kalinyamat mempunyai seorang keponakan bernama Roro Ayu Mas Semangkin yaitu puteri dari Sultan Prawoto yang ke-4. Sewaktu kecil di asuh oleh Ratu Kalinyamat. Setelah dewasa dijadikan sebagai “ garwo selir” dari “Panembahan Senopati” Sutowijoyo dari Kerajaan Mataram. Roro Ayu Mas Semangkin kembali ke Jepara untuk menumpas “penjahat” yang disebabkan oleh kerusuhan dan banyaknya perampokan di wilayah desa Mayong. Beliau menjadi panglima perang mendampingi Lurah Tamtomo Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Roro Ayu Mas Semangkin berhasil menumpas kejahatan tersebut. Setelah itu Roro Ayu Semangkin tidak mau kembali ke Mataram dan menetap di Desa Mayong.Kanjeng Ibu Mas yang didampingi ki Brojo penggingtaan bersama prajurit Mataram mendirikan sebuah padepokan di daerah utara (Lor) sebagai tempat tinggal yang disebut Desa Mayong Lor. Sedangkan, di daerah bagian selatan (Kidul) yang diberi nama Desa Mayong Kidul, Ki Tanujayan bersama prajurit Mataram atas perintah Kanjeng Ibu Mas juga mendirikan padepokan sebagai tempat tinggal. Di dua daerah baru tersebut Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan mengajarkan ilmu-ilmunya baik ilmu kanuragan maupun ilmu kerohanian, budi luhur, kesucian batin terhadap sesama dan suka menolong, penyabar serta rendah hati dan masih banyak lagi mengenai hal-hal menuju kebaikan. Lambat laun berita tersebut tersiar sampai kedaerah-daerah lainnya. Akhirnya banyak orang yang berdatangan untuk meminta pertolongan atau datang untuk menimba ilmu serta banyak pula yang dating berguru bahkan ada pula yang datang dan menetap menjadi penghuni baru di daerah itu. Berkat kebesaran ketinggian budi serta kearifan Kanjeng Ibu Mas bersama Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanunjayan maka mereka diangkat menjadi sesepuh dan cikal bakal dari masyarakat Mayong Lor dan Mayong Kidul.
asal-usul desa singorojo
Disini saya akan menceritakan
tentang pendiri desa singorojo kecamatan mayong kabupaten jepara. Yang mana
ceritanya sebagai berikut:
Pada tahun sekitar 1600 di
singaraja bali terdapat kerajaan
singaraja. Rajanya bernama ida gusnanda. Ida gusnanda mempunyai 2 orang
anak, anak pertama di beri nama ida gusnadi dan anak kedua bernama ida
gusnanti. Dikerajaan itu masih memeluk agama hindu.
Suatu saat terjadi perselisihan
antara ida gurnadi dengan ayahnya ida gusnanda karena masalah orang yang telah
meninggal. Hal ini di tentang oleh ida gurnadi Sehingga Ida gurnadi diusir dari
kerajaan singaraja.Ida gurnadi pergi bersama adiknya ida gurnanti dan temannya
rogas dengan mengendarai gentong besar yang berisikan biji aren dan biji
jati.Setelah beberapa hari terkatung-katung dilaut ida gurnadi melihat ada
segerombolan tumbuh”an dan gentong itupun
di arahkan ketempat itu. Ternyata segerombolan tumbuh”an tersebut adalah pohon
asam. Pohon asam itu terlihat dari jauh lamat-lamat. Lalu tempat itu kalau
menjadi kota akan diberi nama desa semat (uwet asem lamat”).
Setelah beberapa hari di desa
semat ida gurnadi dan keduateman mendengar berita kalau di demak ada seorang
wali yang tersohor yang bernama sunan kalijaga. Lalu ida gurnadi bergegas
menuju kedemak untuk berguru dengan sunan kalijaga.
Setelah semua ilmu dari sunan kalijaga
diwariskan ke ida gurnadi. Ida gurnadi pun diberi mandap untuk menyebarkan
agama islam dari demak ke utara Dengan didampingi adik dan temannya ida gurnadi
juga dipasrahi untuk merawat dan mengajari anak sunan kalijaga yang bernama
suwut dan sujud. Ditengah perjalanan ida gurnadi beristirahat disebuah hutan
yang masih lebat sekali. Dan ditengah hutan ada kerajaan jin yang rajanya
bernama rajasa. Hutan tesebut sangat gawat sekali orang-orang menyebutnya hutan
itu janmo moro janmo mati. Pada waktu beristirahat dihutan tersebut semua jin”
yang ada dihutan merasa kepanasan karena sawap dari ida gurnadi. sehingga
rajasa marah dan menantang ida gurnadi untuk perang.
setelah beberapa hari perang
akhirnya tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Sehingga idan gurnadi dan rajasa membuat kesepakatan
untuk perang junjung. Dalam perang junjung sang jin tersebut tidak mampu
mengangkat ida gurnadi. Merasa tidak kuat untuk mengangkat ida gurnadi si raja
jin tersebut menyuruh ida gurnadi untuk bergantian mengangkat raja jin tersebut.Dan akhirnya ida gurnadi
mampu mengangkat raja jin tersebut dan mau membantingnya. Pada saat ida gurnadi
mau membanting raja jin tersebut meminta ampun supaya jangan dibanting.
Akhirnya raja jin tersebut ingin menjadi
murid dari ida gurnadi. Setelah raja jin tersebut menjadi murid dari ida
gurnadi, tepatnya pada bulan pada malam jum’at wage alas tersebut di babat ida
gurnadi dan 4 orang temannya dibantu oleh jin membabat habis hutan dan memberi
nama hutan tersebut dengan desa singorojo. setelah membabat hutan dan memberi
nama desa singorojo ida gurnadi mendirikan pesantren. Pesantrennya tersohor
sampai ke kerajaan mataram.
Sutowijoyo raja mataram mempunyai
salah satu istri yang bernama ibu kanjeng mas semangkin. bertahun-tahun menikah
mereka tidak dikaruniai seorang anak.. Mendengar di singorojo ada kyai
tersohor. Sutowijaya membawa istrinya ketempat ida gurnadi untuk dimintakan
supaya istrinya bisa hamil. Setelah berbulan-bulan tinggal dipesantren akhirnya
ibu kanjeng mas semangkin hamil. Mendengar bumas hamil sutowijoyo memberi gelar
kepada ida gurnadi dengan sebutan datuk. Lama-kelamaan sutowijoyo curiga
mengapa istrinya bisa hamil padahal beberapa bulan sutowijoyo tidak pernah
bersamanya bu mas akhirnya di usir dari
kerjaan mataram. Setelah pergi dar kerajaan mataram bu mas menetap di
singorojo. Setelah 9 bulan 10 hari ibu mas akhirnya mempunyai 2 anak kembar
yang di beri nama syarip dan srokol. Mbah datuk gurnadi mengangkat syarip dan
srokol menjadi anak angkatnya.
Mbah datuk gurnadi disukai oleh
seorang gadis yang bernama jatisari tapi mbah datuk gurnadi tidak suka padanya
sehingga jatisari menikah dengan rogas sahabat ida gurnadi dan rogas pun
tinggal disuatu daerah yang diberi nama desa jatisari. Sementara itu Ida
gurnanti dinikahi oleh raja hadiwijaya (raja demak).
Pada suatu hari rogas berkunjung ke pesantren
mbah datuk gurnadi. Rogas memberi saran kepada mbah datuk gurnadi untuk
menikahi ibu mas semangkin. Mbah datuk pun setuju dengan saran rogas. Saat mau
melamar ibu mas semangkin, ibu mas semangkin meminta 3 persyaratan yaitu
menyuruh mbah datuk untuk mengambil kethek putih, ikan kakap, dan lele yang ada
di sekitar laut kidul. Mbah datuk gurnadi menyuruh Rajasa(raja jin) untuk
mencari kethek putih, suwud untuk mencari ikan kakap dan sujud untuk mencari
ikan lele.tapi hanya rajasa dan sujud yang mampu mencarikan khetek putih dan
lele untuk diserahkan kepada mbah datuk,sementara itu suwud yang sudah
menemukan ikan kakap tapi ikan kakap tersebut berubah menjadi putri yang sangat
cantik sehingga suwut tertarik dan menikahinya. Rajasa dan sujud pun sudah
sampai di pesantren dan menyerahkan kethek putih dan lele. Tak lama kemudiah
mbah datuk menanyakan dimana suwud…? Rajasa dan sujud pun disuruh mencari
suwud. Setelah bertemu dan mengajak suwud untuk pulang suwud pun tidak
diperbolehkan putri kakap untuk pulang. Rajasa dan sujud akhirnya berperang
dengan putri kakap dan akhirnya putri kakap tewas lalu suwud diajak pulang.
Ditengah perjalanan rajasa dan teman” melihat sebuah kali yang sangat bersih
airnya dan mereka pun akhirnya istirahat sebentar. Pada saat rajasa sedang
membasuh mukanya dikali tiba-tiba rajasa berubah menjadi anjing yang kemudian
mbah datuk menyebutnya sebagai asu gaong yang mana anjing tersebut akan memberi
pertanda apabila akan terjadi hal-hal yang buruk. Sesampainya suwud dan
teman”nya di pesantren suwud pun ditanya
mbah datuk tentang ikan kakapnya. Dan suwudpun menjawab dengan apa yang
telah di lakukannya. Mbah datuk gurnadi pun akhirnya tidak jadi menikah dengan
ibu mas semangkin karna kurangnya syarat yang harus dipenuhi mbah datuk. Mbah
datuk gurnadi dikisahkan dalam tembang jawa. Dan ditulis di buku yang berjudul
“babat singorojo’’
Asal Usul Desa Paren
Desa Paren, sebuah desa di kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara. Sesepuh desa Paren mbah Cokroaminoto. Desa Paren adalah desa perbatasan antara Mayong-Jepara. Jadi, akses penduduk desa paren lebih sering ke daerah Welahan. Kadang jika ada orang yang bertanya tentang alamat, saya akan menjawab di “Welahan”. Desa kami berbatasan dengan desa ketileng pada bagian selatan, utara dengan kuanyar, timur dengan mayong kidul, dan barat dengan kalipucang wetan. Penduduk desa Paren sebagian bekerja sebagai petani, pengrajin batu bata, pedagang, guru dll. Saya lebih suka menyebut desa Paren sebagai desa nostalgia, karena warga desa banyak juga yang merantau dan tentu saja pulang kampung hanya untuk beristirahat. Ditambah lagi, desa kami pembangunannya bisa dikatakan lambat. Jadi, dari dulu sampai sekarang tidak banyak berubah dilihat dari pembangunan infrastrukturnya (gimana nih, anak mudanya yang bertitel sarjana :-X).
Ada beberapa versi mengenai asal-usul dari nama desa Paren ini. Akan saya jabarkan satu persatu. (nara sumber Ibu Rukamah tinggal di ds. Paren, RT.05 Rw 02 (Mak saya ini hihi)).
Ada beberapa versi mengenai asal-usul dari nama desa Paren ini. Akan saya jabarkan satu persatu. (nara sumber Ibu Rukamah tinggal di ds. Paren, RT.05 Rw 02 (Mak saya ini hihi)).
- Paren (Pari)
- Paren (Perang Leren)
Dikisahkan zaman dahulu masih sering terjadi perang, baik antar masyarakat sendiri atau berhubungan dengan penjajah. Pokoknya kalau perang itu sampai di desa Paren, tiba-tiba saja tidak jadi. Memang ada ceritanya sendiri, dikisahkan oleh Ibu Rukamah, waktu itu ada konflik yang terjadi (lupa konfliknya siapa saja, besok tak tanya lagi J), nah perang itu akhirnya sampai di desa Paren, tapi tidak jadi perangnya, entah karena apa.