Kamis, 01 Maret 2018

Asal Usul / Sejarah Beberapa Desa di Kecamatan Mayong Kab. Jepara


Asal Usul Desa Kuanyar
                Hubungan peristiwa ini dengan asal muasal Desa Kuanyar adalah, bahwa pada saat itu Ratu Kalinyamat mempunyai pengikut setia yang selalu mendampingi Sang Ratu. Beliau adalah seorang dayang yang merawat dan mengasuh Sang Ratu sejak kecil. Karena pekerjaannya mengasuh itulah maka dayang tersebut biasa dipanggil dengan sebutan Mbok Emban (artinya ibu asuh). Nama asli mbok emban adalah Nyai Safah. Hal ini berdasarkan cerita tutur dan tulisan yang terukir di pintu makam beliau. Sepeninggal Sultan Hadirin Ratu Kalinyamat memberikan penghargaan kepada Mbok Emban berupa sebuah wilayah berjarak 6 kilometer di sebelah tenggara Keraton Kalinyamat untuk ditempati. Dengan penuh ketekunan Mbok Emban bersama suaminya yang bernama Mbah Wali (tidak diketahui nama asli beliau) pindah dan membabat hutan di wilayah yang dimaksud menjadi sebuah tempat tinggal. Oleh Mbok Emban daerah tersebut kemudian dinamakan sentono/ astana raja. Dinamakan demikian karena untuk mengingat jasa Kanjeng Ratu Kalinyamat. Didaerah tersebut kemudian dibangun tempat tinggal dan pesanggrahan. Hingga akhirnya tempat tersebut dikenal sebagai pesanggrahan mbok nyai emban pada masanya. Lambat laun disekitar daerah tersebut mulai ramai didatangi oleh para pendatang yang kemudian menetap dan tinggal disekitar daerah tersebut. Kalau melihat kondisi gegrafis daerah sentono penulis berkeyakinan bahwa pesanggrahan dan tempat tinggal Mbok Emban dulunya terletak ditepi sebuah sungai dengan dikelilingi pohon pohon besar. Namun sungai tersebut kini sudah tidak terlihat jelas karena proses alam yaitu proses sendimentasi/ pendangkalan. Hal ini bisa terlihat dari topografi daerah tersebut yang posisinya lebih tinggi dibanding dengan posisi tanah di sekitar. Sampai sekitar tahun 1996  sekitar 50 meter disebelah barat makam beliau masih terlihat sebuah cekungan panjang menyerupai sebuah sungai meskipun tidak dalam dengan dikelilingi dua buah pohon besar yang berusia ratusan tahun. Sayang dua buah pohon besar yang menjadi peneduh di area makam beliau kini sudah tidak ada lagi karena tumbang dimakan usia. Hal lain yang lebih meyakinkan penulis adalah pernah ditemukannya sumber pasir di persawahan disebelah utara makam beliau. Waktu itu ayah penulis sedang menggali sumur untuk pengairan tanaman jagung di sawah tersebut, namun setelah kedalaman sekitar dua meter galian yang semula berupa tanah berubah menjadi pasir. Pasirnya berwarna coklat sebagaimana umumnya pasir sungai. Tidak hanya satu sumur yang dibuat namun ada empat sumur dan semuanya mengandung pasir. Sumur-sumur itu dibuat empat titik yang masing-masing berjarak empat meter dengan bentuk segi empat. Pasir-pasir tersebut kemudian diambil oleh ayah penulis, bahkan cukup untuk dipakai sebagai bahan bangunan. Bahkan saat itu penulispun ikut membantu ayah mengambil pasir. Dari kejadian inilah penulis yakin bahwa pesanggrahan Mbok Emban terletak ditepi sebuah sungai yang asri dan sejuk. Hal ini juga dikuatkan dengan fakta adanya kubangan air yang membentuk pola memanjang seperti aliran sungai apabila hujan deras, sewaktu ayah penulis masih kecil kubangan air bahkan terlihat lebih jelas.
                Pada perkembangannya Pesanggrahan mbok nyai emban sering dikunjungi dan oleh para musafir yang kebetulan melewati daerah tersebut sebagai tempat persingahan ataupun juga diskusi. Salah seorang yang sering singgah ke pesanggrahan beliau adalah seorang ulama yang berasal dari Singaraja Bali bernama Datuk Ida Gurnandi. Mbah Datuk Singorojo begitu sekarang masyarakat meyebut, adalah seorang dai keliling. Beliau menetap disebuah desa berjarak kurang lebih 8 kilometer atau empat kilometer kearah timur laut Pasar Mayong yang diberi nama seperti daerah asalanya yaitu Singorojo. Mbah Datuk sering singgah ke pesanggrahan Mbok Emban apabila sedang melakukan dakwah keliling ke wilayah-wilayah di jepara. Menurut cerita, kebiasaan Mbah Datuk saat singgah disuatu tempat adalah ditanamnya pohon aren didaerah tersebut. Dengan demikian setiap melakukan perjalanan Mbah Datuk selalu membawa buah aren (kolang-kaling). Cerita ini memang ada benarnya karena sampai akhir tahun 1980-an di sekitar makam mbok emban masih ditemui banyak pohon aren meskipun sekarang sudah tidak ada satupun yang tinggal. Ditempat tersebut konon juga didirikan sebuah Masjid. Namun sayang Masjid tersebut ternyata tidak pernah digunakan sembahyang secara berjamah oleh masyarakat sekitar setono. Hingga akhirnya mbah wali (suami mbok emban) menendang bedug masjid (alat untuk memanggil orang untuk pergi ke masjid) sehingga terlempar sejauh tiga ratus meter kearah tenggara masjid dan entah kenapa kemudian masjid itu kemudian terbakar. Bekas reruntuhan batu bata masjid tersebut saat ini masih bisa disaksikan meskipun kondisi batu batanya sudah tidak utuh lagi. Ditendangnya bedug masjid tersebut mengandung maksud sebagai symbol bahwa untuk apa ada bedug kalau masyarakat tidak pernah mau mendengarkan/ datang ke masjid untuk sembahyang (tempat berhentinya bedug tersebut dua ratus  delapan puluh tahun kemudian, yaitu sekitar tahun 1880-an dibangunlah masjid baru berdasarkan penafsiran KH Hasan Janamin seorang ulama dan guru sufi yang bermukim didekat tempat tersebut. Masjid tersebut kemudian dikenal sebagai Masjid Kauman atau Masjid Baitul Mujtahidin Kuanyar). Pada tahun 1600-an Mbok Emban dan Mbah Wali meninggal dan beliau berdua dimakamkan didekat pesanggrahan milik mereka berdua.
                Setelah era mbok emban kemudian muncul tokoh-tokoh lain yang mendiami tempat-tempat di sekitar setono. Tokoh-tokoh tersebut adalah Mbah Kresek, Mbah Sastro Mulyono, Mbah Sugeng, Raden Suryo, Mbah Cokroamijoyo, Mbah Suradi dan Mbok Dodol. Daerah mereka tinggal kemudian menjadi pedukuhan. Dukuh-dukuh tersebut adalah Sebatang (Mbah Kresek), Gedang Gepeng (Mbah Sastro Mulyono), Mbondoyo (Mbah Sugeng), Ngalasan Timur (Raden Suryo), Ngalasan Barat (Mbah Sastroamijoyo), Kranggan (Mbah Suradi), dan Babadan (Mbok Dodol). Mbah Kresek adalah yang mula-mula memberikan nama Kuanyar dari ungkapan Bumiku Anyar yang kemudian berubah menjadi Kuanyar. Karena beliau yang memberi nama desa kemudian beliau disebut sebagai Mbah Lurah. Untuk Setono sendiri kemudian menjadi bagian dari pedukuhan Kauman dikarenakan kemudian didaerah ini sebagai pusat penyiaran Agama Islam di Desa Kuanyar. Adapun pmerintahan Desa Kuanyar secara administrative setelah era Mbah Lurah (Mbah Kresek) adalah; Banis (1837-1840), Yahya (1840-1865), Ropingi (1880-1905), Wirongangsi (1905-1922), H. Glempo (1922), H. Sulaiman (1922-1945), Maskat (1945-1975), Abu Kholil (1975-1986), Ubeid Zubaidi (1986-1996), Abdul Qodir (1996-2003), Ubeid Zubaidi (2003-2013), dan Abdu Harisman (2013-2019).
                   Sebagai seorang tokoh yang telah berjasa dalam membuka Desa Kuanyar dan mensiarkan Agama Islam  untuk yang kali pertama tentu sangatlah wajar apabila generasi sekarang menghargai dan menghormati jasa beliau, karena bagaimanapun juga Mbok Nyai Emban dan keluarganya adalah pelopor atau lazim disebut Danyang. Namun kenyataannya sekarang sangat memprihatinkan. Satu satunya peninggalan beliau yang tak lain adalah makam beliau sendiri terkesan tak terawat. Bangunan yang menaungi makam beliau dan keluarga serta pengikutnyapun tak ubahnya seperti bangunan reot yang mau roboh. Kumuh, kotor dan berantakan. Begitu juga pemakaman disekitar makam beliau juga terkesan tak terawat tidak ada pagar keliling dan banyak makam yang sudah rusak. Batu nisan juga sudah banyak yang hilang. Terkesan kering dan gersang. Hal ini tentu membutuhkan perhatian khusus dari warga desa khususnya Pemerintah Desa Kuanyar. Pembangunan dan pemugaran yang memadai serta pengelolaan yang baik tentu harus menjadi program yang diprioritaskan.Selain itu juga perlu disusun sebuah buku tentang riwayat beliau oleh pemerintah esa dan tokoh tokoh agama dengan mencari berbagai sumber agar setiap generasi dapat mengetahuinya  Pembangunan makam ini tentunya bukan bermaksud untuk mengkultuskan beliau, namun lebih pada perawatan dan pemeliharaan sebuah situs sejarah dari proses panjang lahirnya sebuah desa. Dengan demikian makam tersebut bisa menjadi wisata sejarah bagi masyarakat desa terlebih generasi muda dan generasi yang akan datang agar mengetahui bagaimana desa mereka didirikan. . Tentu hal itu bukanlah hal buruk. Adapaun adanya kekhawatiran akan adanya praktek yang tidak baik itu kembali kepada keimanan masing masing. Selama pengelola bisa menjaga hal hal yang tidak baik serta praktek praktek yang menyimpang tentu hal semacam itu tak perlu dikhawatirkan. Negara yang besar adalah Negara yang warga negaranya menghargai para founding father dan pahlawannya dan desa yang besar adalah desa yang mau menghargai pendiri desanya. Karena bagaimanapun juga adanya kita dan eksistensi kita saat ini adalah hasil dari sebuah proses sejarah yang panjang maka tidak sepatutnya kita memutus rantai sejarah dengan tidak melestarikan peninggalan sejarah yang ada. Semoga Desa Kuanyar menjadi desa yang damai, ramah, mau menghormati dang menghargai leluhur dan yang terpenting tidak kehilangan jati dirinya dan jangan sampai termasuk dalam dalam peribahasa kacang lupa pada kulitnya.


Sejarah Desa Tigajuru
Tigajuru merupakan salah satu diwilayah Kerajaan Kalinyamat pada waktu itu. Dipimpin oleh seorang ratu bernama Ratu Kalinyamat yang mempunyai suami bernama Sultan Hadirin. Pada suatu ketika diwilayah lereng Gunung Muria khususnya yang terjadi di wilayah Mayong terjadi “pagebluk” yang diakibatkan oleh kerusuhan dan banyaknya perompakan serta perampokan maka beliau mengutus Roro Ayu Mas Semangkin (Ibu Mas Semangkin) untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Roro Ayu Mas Semangkin (Ibu Mas Semangkin) adalah anak ke 4 Sunan Prawoto Demak, semasa kecil hingga tumbuh menjadi remaja putri beliau diasuh oleh bibinya bernama Ratu Kalinyamat. Setelah menjelang dewasa kemudian menjadi ”garwo selir” Panembahan Senopati/Sutowijoyo dari Kerajaan Mataram. Roro Ayu Mas Semangkin kembali ke Jepara untuk menunaikan tugas suci menumpas ”pagebluk” tersebut. Beliau dinobatkan sebagai panglima perang didampingi oleh Lurah Tamtomo Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Atas keahlian, kemahiran dan ketangkasan olah kanuragan dan strategi perang Roro Ayu Mas Semangkin maka kerusuhan tersebut dapat dengan segera dipadamkan. Setelah itu Roro Ayu Mas Semangkin tidak berkenan kembali ke Mataram tetapi justru mendirikan pesanggrahan dan menetap di Desa Mayonglor hingga beliau wafat.
Selain misi tersebut Ratu Kalinyamat juga mengutus Ibu Mas Semangkin untuk menyiarkan agama Islam keseluruh pelosok kerajaan, untuk itu Ibu Mas Seangkin membuat pemerintahan atau kraton pada waktu itu di wilayah Mayong yang notabene mayoritas masyarakat Mayong beragama Hindhu dan Khonghucu. Dalam melaksanakan tugasnya Ibu Mas Semangkin dibantu oleh juru atau ahli dibidang-bidang tertentu, antara lain Ki Brojo Penggingtaan, Ki Tanujayan, Mbah Notokusumo, Mbah Abdullah Mufakatan, dan Mbah Suriyah Tunjungsari. Dari kelima murid tersebut, Ibu Mas Semangkin menugaskan Mbah Notokusumo, Mbah Abdullah Mufakatan, serta Ibu Suriyah Tunjung sari untuk mengurus sebuah wilayah yang bernama Tigajuru.
Tigajuru terdiri dari dua kata yaitu Tiga yang berarti tiga (three) dan juru yang berarti ahli, karena di Tigajuru ada tiga orang yaitu Mbah Notokusumo, belaiau adalah berasal dari Keraton Surakarta yang merupakan juru pemerintahan, Mbah Abdullah Mufakatan, belaiau berasal dari Demak merupakan juru runding atau musyawarah mufakat, dan Ibu Suriyah Tunjung Sari merupakan juru masak. Dari ketiga juru itu maka wilayah tersebut dinamai TIGAJURU.

SEJARAH DESA MAYONG LOR

Sejarah Desa Mayonglor dimulai dari Roro Ayu Mas Semangkin adalah anak ke 4 Sunan Prawoto Demak dan merupakan pendiri desa Mayonglor. Semasa kecil hingga tumbuh menjadi remaja putri beliau diasuh oleh bibinya bernama Ratu Kalinyamat. Setelah menjelang dewasa kemudian menjadi”garwo selir”Panembahan Senopati / Sutowijoyo dari Kerajaan Mataram. Roro Ayu Mas Semangkin kembali ke Jepara untuk menunaikan tugas suci menumpas”pagebluk”oleh sebab dan yang diakibatkan oleh kerusuhan dan banyaknya perompakan serta perampokan di wilayah lereng Gunung Muria, khususnya yang terjadi di Wilayah Mayong. Beliau dinobatkan sebagai panglima perang didampingi oleh Lurah Tamtomo Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Atas keahlian, kemahiran dan ketangkasan olah kanuragan dan strategi perang Roro Ayu Mas Semangkin maka kerusuhan tersebut dapat dengan segera dipadamkan. Setelah itu Roro Ayu Mas Semangkin tidak berkenan kembali ke Mataram tetapi justru mendirikan pesanggrahan dan menetap di Desa Mayonglor hingga beliau wafat.

Pada waktu itu banyak para murid dari padepokan Roro Ayu Mas Semangkin, Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan selain berguru kepadanya juga banyak berguru ke Padepokan Datuk Singorojo yang kebetulan ahli dalam membuat ukir–ukiran dan keramik. Keahlian Datuk Singorojo ini kemudian ditularkan kepada murid–murid tetangga padepokan tersebut. Dalam waktu singkat padepokan tersebut banyak kedatangan murid untuk berguru ilmu kanuragan, keagamaan dan kerohanian dan yang terpenting adalah belajar membuat gerabah. Sejalan dengan perjalanan waktu kemudian muncul perkampungan baru bernama Undagen di desa Mayonglor yang khusus mengembangkan kerajinan gerabah, genteng, keramik dan seni ukir. Dalam perkembangan jaman maka pada tahun 1937 Belanda mendirikan Pasar Mayong yang ditujukan sebagai tempat berjualan berbagai macam barang–barang kerajinan gerabah yang digunakan untuk kepentingan rumah tangga dan berbagai macam mainan seperti manuk–manukan, gajah–gajahan, sapi–sapian, terbang–terbangan dan sebagainya. Dengan keahlian masyarakat Mayonglor dalam membuat gerabah dan teknik pembuatan keramik maka di Mayong didirikan pabrik keramik.


ASAL USUL DESA NGROTO
VERSI I
Ngroto, Bukan sekedar kata yang tanpa makna. Ngroto bisa berarti daerah yang rata,”merata”. Dalam tutur sejarah desa yang diriwayatkan secara turun temurun, dikisahkan Pada saat dulu kala ketika daerah Ngroto dan sekitarnya masih berupa hutan belantara yang belum berpenduduk, datanglah Nyai Ragil ke tempat ini dan kemudian membuka lahan yang ditumbuhi bermacam tumbuhan untuk dijadikan tempat tinggal. Setelah melihat kontur tanah yang sebelumnya penuh pohon dan tumbuhan menjadi daerah yang rata, datar, dan nampak berbeda dengan yang terlihat disebelah selatan daerah ini berupa jajaran gundukan bukit kapur, Nyai Ragil kemudian menamakan daerah ini sebagai Ngroto.
VERSI II
di Persia dulu terdapat keluarga Nyi Syamsiyah yang telah lama ditinggal suaminya pergi ke tanah Jawa. Nyi Syamsiyah mempunyai putra bernama Abdurrahman. Setelah dewasa, Abdurrahman mengajak ibunya mencari ayahnya ke tanah Jawa. Sesampainya di Jawa beliau dan Ibunya berguru pada Kanjeng Sunan Kalijaga. Setelah beberapa tahun nyantri kepada Kanjeng Sunan, beliau ingat tujuan beliau datang ke tanah Jawa yaitu untuk mencari ayahnya. Beliau yakin ayahnya masih berada di tanah Jawa. Maka segeralah berpamitan dengan Ibunya dan mohon restu pada Kanjeng Sunan. Kanjeng Sunan Kalijaga menyarankan agar beliau menyisir kali tuntang karena suatu saat ayahnya pasti lewat kali tersebut. Setelah berpamitan, beliau pun menyisir kali tuntang dengan perahu. Sampailah Abdurrahman pada suatu tempat yang di tunjukkan Kanjeng Sunan. Beliau pun turun dan mendirikan gubugan kecil disana yang tak jauh dari perkampungan.
Setelah beberapa tahun tinggal dan ikut berjuang syiar agama di sana, suatu hari dijumpainya seorang Kyai yang terhenti sampannya ketika melewati kali tuntang tersebut. Abdurrahman pun membantunya dan berkenalan. Tak disangka ternyata Kyi tersebut tidak lain adalah ayahnya yang bertahun-tahun beliau cari. Beliau sangat bersyukur dan meminta ayahnya untuk tinggal. Namun karena masih ada tugas yang harus diselesaikan ayahnya pun melanjutkan perjalanan ke Demak. Abdurrahman tetap tinggal dan melanjukan syiar Islam di daerah tersebut. Nyi Syamsiah akhirnya menyusul putranya ikut tinggal di perkampungan tersebut. Lama-lama daerah itu semakin ramai. Karena daerah itu banyak ditumbuhi tanaman glagah dan merata maka daerah tersebut kemudian diberi nama Roto kemudian menjadi Ngroto.
Kyai Abdurrahman mendapat gelar Ganjur
Para Wali Sembilan yang berhasil mendirikan Kesultanan Demak akhirnya membentuk pasukan yang dipimpin Sayyid Abdurrahman dari Desa Ngroto. Sayyid Abdurrahman dipilih oleh Wali Sembilan karena memiliki keterampilan membuat alat musik pukul, sehingga dia diberi gelar Ki Ageng Ganjur (alat musik pukulan di bawah gong dalam perangkat gamelan wayang). Alat musik Ganjur tersebut dipakai sebagai alat komunikasi dengan pasukan-pasukannya dan sarana dakwah.

Asal - Usul Desa Mayong Kidul
Asal –usul Desa Mayong bermula dari cerita Ratu Kalinyamat dan suaminya yang pergi ke kudus menemui Sunan Kudus untuk meminta penjelasan tentang masalah Arya penangsang dengan Sunan Prawoto yang merupakan kakak dari Ratu kalinyamat. Sunan Kudus menjelaskan bahwa dulu semasa muda, Sunan Prawoto telah membunuh Pangeran Sekar Seda Lepen yang merupakan ayah dari Arya Penangsang, jadi wajar jika Arya Penangsang memiliki rasa dendam kepada Sunan Prawoto dan keluarganya. Setelah mendengar penjelasan dari Sunan Kudus, Ratu Kalinyamat beserta suaminya pulang ke Jepara, tetapi saat di perjalanan pulang mereka dihadang oleh anak buah dari Arya Penangsang dan membuat suami Ratu Kalinyamat tewas. Sebelum Pangeran kalinyamat atau suami dari Ratu Kalinyamat itu meninggal, ia sempat merambat-rambat di tanah dengan sisa tenaganya, hingga daerah tersebut kini dinamai Desa Prambatan. Selanjutnya, Ratu Kalinyamat membawa jenazah suaminya untuk tetap meneruskan perjalanan dan sesampainya di sebuah sungai, darah dari Pangeran Kalinyamat menetes ke sungai dan warna air sungainya berubah menjadi ungu, sehingga daerah tersebut diberi nama Desa Kaliwungu. Rombongan Ratu Kalinyamat melanjutkan perjalanan ke arah Barat dan karena dalam kondisi lelah,  ia berjalan sempoyongan (Moyang-moyong), maka daerah tersebut diberi nama Desa Mayong.

Ratu Kalinyamat mempunyai seorang keponakan bernama Roro Ayu Mas Semangkin yaitu puteri dari Sultan Prawoto yang ke-4. Sewaktu kecil di asuh oleh Ratu Kalinyamat. Setelah dewasa dijadikan sebagai “ garwo selir” dari “Panembahan Senopati” Sutowijoyo dari Kerajaan Mataram. Roro Ayu Mas Semangkin kembali ke Jepara untuk menumpas “penjahat” yang disebabkan oleh kerusuhan dan banyaknya perampokan di wilayah desa Mayong. Beliau menjadi panglima perang mendampingi Lurah Tamtomo Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Roro Ayu Mas Semangkin berhasil menumpas kejahatan tersebut. Setelah itu Roro Ayu Semangkin tidak mau kembali ke Mataram dan menetap di Desa Mayong.Kanjeng Ibu Mas yang didampingi ki Brojo penggingtaan bersama prajurit Mataram mendirikan sebuah padepokan di daerah utara (Lor) sebagai tempat tinggal yang disebut Desa Mayong Lor. Sedangkan, di daerah bagian selatan (Kidul)  yang diberi nama Desa Mayong Kidul, Ki Tanujayan bersama prajurit Mataram atas perintah Kanjeng Ibu Mas juga mendirikan padepokan sebagai tempat tinggal. Di dua daerah baru tersebut Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan mengajarkan ilmu-ilmunya baik ilmu kanuragan maupun ilmu kerohanian, budi luhur, kesucian batin terhadap sesama dan suka menolong, penyabar serta rendah hati dan masih banyak lagi mengenai hal-hal menuju kebaikan. Lambat laun berita tersebut tersiar sampai kedaerah-daerah lainnya. Akhirnya banyak orang yang berdatangan untuk meminta pertolongan atau datang untuk menimba ilmu serta banyak pula yang dating berguru bahkan ada pula yang datang dan menetap menjadi penghuni baru di daerah itu. Berkat kebesaran ketinggian budi serta kearifan Kanjeng Ibu Mas bersama Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanunjayan maka mereka diangkat menjadi sesepuh dan cikal bakal dari masyarakat Mayong Lor dan Mayong Kidul.
asal-usul desa singorojo
Disini saya akan menceritakan tentang pendiri desa singorojo kecamatan mayong kabupaten jepara. Yang mana ceritanya sebagai berikut:
 Pada tahun sekitar 1600  di  singaraja  bali terdapat  kerajaan  singaraja. Rajanya bernama ida gusnanda. Ida gusnanda mempunyai  2 orang  anak, anak pertama di beri nama ida gusnadi dan anak kedua bernama ida gusnanti. Dikerajaan itu masih memeluk agama hindu.
Suatu saat terjadi perselisihan antara ida gurnadi dengan ayahnya ida gusnanda karena masalah orang yang telah meninggal. Hal ini di tentang oleh ida gurnadi Sehingga Ida gurnadi diusir dari kerajaan singaraja.Ida gurnadi pergi bersama adiknya ida gurnanti dan temannya rogas dengan mengendarai gentong besar yang berisikan biji aren dan biji jati.Setelah beberapa hari terkatung-katung dilaut ida gurnadi melihat ada segerombolan tumbuh”an  dan gentong itupun di arahkan ketempat itu. Ternyata segerombolan tumbuh”an tersebut adalah pohon asam. Pohon asam itu terlihat dari jauh lamat-lamat. Lalu tempat itu kalau menjadi kota akan diberi nama desa semat (uwet asem lamat”).
Setelah beberapa hari di desa semat ida gurnadi dan keduateman mendengar berita kalau di demak ada seorang wali yang tersohor yang bernama sunan kalijaga. Lalu ida gurnadi bergegas menuju kedemak untuk berguru dengan sunan kalijaga.
 Setelah semua ilmu dari sunan kalijaga diwariskan ke ida gurnadi. Ida gurnadi pun diberi mandap untuk menyebarkan agama islam dari demak ke utara Dengan didampingi adik dan temannya ida gurnadi juga dipasrahi untuk merawat dan mengajari anak sunan kalijaga yang bernama suwut dan sujud. Ditengah perjalanan ida gurnadi beristirahat disebuah hutan yang masih lebat sekali. Dan ditengah hutan ada kerajaan jin yang rajanya bernama rajasa. Hutan tesebut sangat gawat sekali orang-orang menyebutnya hutan itu janmo moro janmo mati. Pada waktu beristirahat dihutan tersebut semua jin” yang ada dihutan merasa kepanasan karena sawap dari ida gurnadi. sehingga rajasa marah dan menantang ida gurnadi untuk perang.
setelah beberapa hari perang akhirnya tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Sehingga  idan gurnadi dan rajasa membuat kesepakatan untuk perang junjung. Dalam perang junjung sang jin tersebut tidak mampu mengangkat ida gurnadi. Merasa tidak kuat untuk mengangkat ida gurnadi si raja jin tersebut menyuruh ida gurnadi untuk bergantian mengangkat  raja jin tersebut.Dan akhirnya ida gurnadi mampu mengangkat raja jin tersebut dan mau membantingnya. Pada saat ida gurnadi mau membanting raja jin tersebut meminta ampun supaya jangan dibanting. Akhirnya  raja jin tersebut ingin menjadi murid dari ida gurnadi. Setelah raja jin tersebut menjadi murid dari ida gurnadi, tepatnya pada bulan pada malam jum’at wage alas tersebut di babat ida gurnadi dan 4 orang temannya dibantu oleh jin membabat habis hutan dan memberi nama hutan tersebut dengan desa singorojo. setelah membabat hutan dan memberi nama desa singorojo ida gurnadi mendirikan pesantren. Pesantrennya tersohor sampai ke kerajaan mataram.
Sutowijoyo raja mataram mempunyai salah satu istri yang bernama ibu kanjeng mas semangkin. bertahun-tahun menikah mereka tidak dikaruniai seorang anak.. Mendengar di singorojo ada kyai tersohor. Sutowijaya membawa istrinya ketempat ida gurnadi untuk dimintakan supaya istrinya bisa hamil. Setelah berbulan-bulan tinggal dipesantren akhirnya ibu kanjeng mas semangkin hamil. Mendengar bumas hamil sutowijoyo memberi gelar kepada ida gurnadi dengan sebutan datuk. Lama-kelamaan sutowijoyo curiga mengapa istrinya bisa hamil padahal beberapa bulan sutowijoyo tidak pernah bersamanya  bu mas akhirnya di usir dari kerjaan mataram. Setelah pergi dar kerajaan mataram bu mas menetap di singorojo. Setelah 9 bulan 10 hari ibu mas akhirnya mempunyai 2 anak kembar yang di beri nama syarip dan srokol. Mbah datuk gurnadi mengangkat syarip dan srokol menjadi anak angkatnya.
Mbah datuk gurnadi disukai oleh seorang gadis yang bernama jatisari tapi mbah datuk gurnadi tidak suka padanya sehingga jatisari menikah dengan rogas sahabat ida gurnadi dan rogas pun tinggal disuatu daerah yang diberi nama desa jatisari. Sementara itu Ida gurnanti dinikahi oleh raja hadiwijaya (raja demak).
 Pada suatu hari rogas berkunjung ke pesantren mbah datuk gurnadi. Rogas memberi saran kepada mbah datuk gurnadi untuk menikahi ibu mas semangkin. Mbah datuk pun setuju dengan saran rogas. Saat mau melamar ibu mas semangkin, ibu mas semangkin meminta 3 persyaratan yaitu menyuruh mbah datuk untuk mengambil kethek putih, ikan kakap, dan lele yang ada di sekitar laut kidul. Mbah datuk gurnadi menyuruh Rajasa(raja jin) untuk mencari kethek putih, suwud untuk mencari ikan kakap dan sujud untuk mencari ikan lele.tapi hanya rajasa dan sujud yang mampu mencarikan khetek putih dan lele untuk diserahkan kepada mbah datuk,sementara itu suwud yang sudah menemukan ikan kakap tapi ikan kakap tersebut berubah menjadi putri yang sangat cantik sehingga suwut tertarik dan menikahinya. Rajasa dan sujud pun sudah sampai di pesantren dan menyerahkan kethek putih dan lele. Tak lama kemudiah mbah datuk menanyakan dimana suwud…? Rajasa dan sujud pun disuruh mencari suwud. Setelah bertemu dan mengajak suwud untuk pulang suwud pun tidak diperbolehkan putri kakap untuk pulang. Rajasa dan sujud akhirnya berperang dengan putri kakap dan akhirnya putri kakap tewas lalu suwud diajak pulang. Ditengah perjalanan rajasa dan teman” melihat sebuah kali yang sangat bersih airnya dan mereka pun akhirnya istirahat sebentar. Pada saat rajasa sedang membasuh mukanya dikali tiba-tiba rajasa berubah menjadi anjing yang kemudian mbah datuk menyebutnya sebagai asu gaong yang mana anjing tersebut akan memberi pertanda apabila akan terjadi hal-hal yang buruk. Sesampainya suwud dan teman”nya di pesantren suwud pun ditanya  mbah datuk tentang ikan kakapnya. Dan suwudpun menjawab dengan apa yang telah di lakukannya. Mbah datuk gurnadi pun akhirnya tidak jadi menikah dengan ibu mas semangkin karna kurangnya syarat yang harus dipenuhi mbah datuk. Mbah datuk gurnadi dikisahkan dalam tembang jawa. Dan ditulis di buku yang berjudul “babat singorojo’’

Asal Usul Desa Paren  
Desa Paren, sebuah desa di kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara. Sesepuh desa Paren mbah Cokroaminoto. Desa Paren adalah desa perbatasan antara Mayong-Jepara. Jadi, akses penduduk desa paren lebih sering ke daerah Welahan. Kadang jika ada orang yang bertanya tentang alamat, saya akan menjawab di “Welahan”. Desa kami berbatasan dengan desa ketileng pada bagian selatan, utara dengan kuanyar, timur dengan mayong kidul, dan barat dengan kalipucang wetan. Penduduk desa Paren sebagian bekerja sebagai petani, pengrajin batu bata, pedagang, guru dll. Saya lebih suka menyebut desa Paren sebagai desa nostalgia, karena warga desa banyak juga yang merantau dan tentu saja pulang kampung hanya untuk beristirahat. Ditambah lagi, desa kami pembangunannya bisa dikatakan lambat. Jadi, dari dulu sampai sekarang tidak banyak berubah dilihat dari pembangunan infrastrukturnya (gimana nih, anak mudanya yang bertitel sarjana :-X).
Ada beberapa versi mengenai asal-usul dari nama desa Paren ini. Akan saya jabarkan satu persatu. (nara sumber Ibu Rukamah tinggal di ds. Paren, RT.05 Rw 02 (Mak saya ini hihi)).
  1. Paren (Pari)
Nama Paren sendiri dikisahkan dari kata Pari (Padi). Dulu desa Paren merupakan desa yang mempunyai banyak sawah untuk ditanami padi. Sampai sekarang pun masih dapat terlihat memang desa kami banyak sawahnya, khususnya di daerah perbatasan dengan mayong kidul dan kuanyar. Di sepanjang jalan terhampar di kanan kiri sawah yang tentunya ditanami padi. Ketika musim tanam tiba, akan banyak para petani berombongan ke sawah. Ada yang berangkat bersama jalan kaki, naik kol (mobil barang), bahkan rombongan truk. Bagian yang paling istimewa dari musim tanam ataupun panen ini adalah “bentel” (bungkusan nasi daun pisang dengan lauk gorengan tempe, pedo/ikan asin plus sambel, suedep pokokmen. Apalagi kalau makannya di sawah katanya). Seseorang yang akan pergi ke Welahan dari Mayong atau sebaliknya akan melewati jalan ini (sepanjang jalan sawah), pemandangannya luar biasa. Namun sayang, penerangannya kurang bahkan hampir tidak ada lampu. Jadi, selain terkenal karena banyak sawahnya, desa kami juga dikenal berbahaya karena banyak begal. Ada kejadian di jalan ini pernah ditemukan mayat tergeletak, ceritanya itu adalah mayat begal yang ditabrak oleh pedagang sayur dengan menggunakan mobil kol.
  1. Paren (Perang Leren)
Zaman dulu masih banyak konflik-konflik perbatasan yang terjadi. Bahkan tapal batas tanah jangan sampai dipindah-pindah atau nanti akan terjadi peperangan antar desa. Jadi, dulu setiap perbatasan desa ada yang aneh, tumbuhan dari desa sebelah tidak akan merambat ke desa yang lain. Kesaktian orang-orang zaman dahulu pun tidak diragukan, hanya dengan komat kamit atau didoakan saja musuh bisa klepek-klepek.
Dikisahkan zaman dahulu masih sering terjadi perang, baik antar masyarakat sendiri atau berhubungan dengan penjajah. Pokoknya kalau perang itu sampai di desa Paren, tiba-tiba saja tidak jadi. Memang ada ceritanya sendiri, dikisahkan oleh Ibu Rukamah, waktu itu ada konflik yang terjadi (lupa konfliknya siapa saja, besok tak tanya lagi J), nah perang itu akhirnya sampai di desa Paren, tapi tidak jadi perangnya, entah karena apa.